The Other Side
Published by Iga Indah under aku on 00.35Hemn…
Kalimat postinganku kali ini diawali dengan deheman. Sudah biasa memang. Kalau begini artinya aku tidak sedang ‘banyak memikirkan sesuatu’ tapi lebih ke ‘sedikit memikirkan banyak hal’. Artiya ada banyak hal yang aku memikirkannya cuma sedikit. Aku akan mecoba menuliskan kesimpulan atau mungkin opini dari apa yang kupikirkan, bukan menceritakan alur yang terjadi seharian ini. Malas sekali kalau harus cerita masalah alur. Panjang mestinya.
Sejak pagi aku sebenere udah mikir apa yang mau tak lakuin. Tapi ya itulah. Cuma mikir doang. Bukan benar-benar berpikir. Bagiku itu artinya beda. Toh akhirnya cuma terjun ke arus. Tapi…eits…jangan kira aku mau ngikut arus dengan mudah. Begini, begini, aku punya pegangan, dan insya Allah dipegang.
Dari awal aku berusaha nahan emosi (emosi bukan berarti marah ya, emosi=perasaan meluap2). Masang tingkah dan mimik muka biasa saja, tidak ada yang istimewa. Tapi nek boleh jujur bagi anak ndeso kaya aku ini kalau soal begituan memang susah nahan kikuk. Nggak bisa natural. Tapi apa salahnya mencoba sesuatu yang lain dari biasanya.
Dimulai waktu makan di Jejamuran. Waktu masuk, pikiran-pikiran kurang gaweanku muncul lagi. Contohnya…sudahlah…. Nggak penting. Isinya cuma alur pemikiran aneh yang nyangkut begitu saja di otak. Namanya juga kurang gawean. Yo wis, back to the topic.
Masuk, duduk, pesen menu, shalat, makan, ngobrol, keluar (wuh…hebat! Ra mbayar po?). Tenang, wis dibayarin kok. Sampai di parkiran, naaaaahhhhhh….. ini dia.
Apa? Apa? Apa?
Kasih tau nggak yaaaa…. >_< (Malaaaaahhh ngoooopoooo?????)
Aku ki sakjamen yo kaget. Tapi tetap berusaha biasa aja. Ini memang lika-liku dalam menjalin hubungan pertemanan. Harus bisa saling memahami karakter. Kalau kita kelihatan kaget, nggak suka, marah2, atau malah sedih pula, dihadapan mereka yang notabene melakukan ‘hal-hal yang tidak sewajarnya’ untuk ukuran kita (misal: ngrokok), malah akan jadi konflik yang merepotkan bukan? Terutama konflik batin yang sakjane menurutku membuang waktuku sendiri (afwan sekali, aku lagi rada cuek hari ini). Pol mentok aku sendiri cuma bisa bilang ‘tp dia saudara kita’ atau malah cuma bilang ‘aku nggak suka’. Lha terus? Adakah kelanjutan aksi nyata untuk merubah? Kalau mak jleb saat itu juga tentu kita akan dianggap orang sok. Bukankah kuncinya bukan kecewa lalu sedih tp lebih ke kesabaran untuk mengerti? Kita tentu tahu lingkungan seperti apa yang membentuk teman kita itu. Rubah pelahan. Beri contoh. Bukankah itu lebih efektif? Kalau masalah aksi nyata, jujur sekali sampai saat ini aku hanya bisa mengusahakan sebatas pada diriku sendiri dan orang-orang yang dekat denganku, missal keluarga dan teman dekat (sebatas yg akhwat). Inilah yang disebut keterbatasan. Entah itu dibuat oleh siapa.
Kita beralih tempat. Sebelumnya saya ingin sekali menekankan kalau aku iki anak rumahan. Jangankan main
ke rumah teman ikhwan, yang akhwat aja jarang. Hebat! Sudah jadi ABG kau sekarang! Maen, motor2an kesana kemari, hangout, makan di restoran, nanti malah masih ke movie box.
Bah…! Uang siapa itu? (afwan sekali, hari ini aku juga lagi ngrasa pengen ngatosi dan diatosi) Astaghfirullah… eling nduk, eling, eling…..!!!!
Aku jadi ingat tokoh Ipung dalam novel remaja karangan Prie GS, More Than Love. Hoho... keren.
Yoz…! Tapi yang jelas, pasti ada yang bisa dipetik bukan? Tidak bisa tidak. Maka sejak dari situ, aku
berpikir: ambil yang baik, buang yang buruk. Logika sederhana yang cocok dalam situasi begini.
Kelanjutannya?
Ya tetep lanjut sampai akhir. Aku maju saja, mundur sekarang tanggung, toh mungkin aku bakal kapok, dan nggak lagi, lagi. Semoga ya Allah. Sayang uang patungannya juga.
Masuk deh ke moviebox. Sebelumnya memang pernah sekali dua kali, jd tahu keadaan di dalam bakalan kaya apa. Filmnya horror lagi. Pasti ketakutan, kaget, jerit2. Hemn…harus diakui kalau aku ini memang nggak suka yang namanya sadisme. Jadi waktu nonton film, aku tutup mata dan telinganya waktu adegan matahin tangan, kaki, sama nyiram air keras ke wajah. Lho…? Kok bisa tahu? Katanya tutup mata dan telinga? Ya kan habis itu tanya ceritanya ke temen sebelah. Tapi nek adegan hantu keluar dari lemari atau nggantung diatas artisnya, atau kran air nyala sendiri, atau artisnya masuk kamar sendiri trus dikagetin sama hantu yang wajahnya item berdarah2 rambutnya panjang awut2an, aku malah nggak takut. Lha itu cuma film kok. Tapi jujur aku nggak bisa menerapkan logika itu kalau adegannya sadisme, soalnya denger teriakan kesakitan itu sangat2 sulit dilupakan, bagiku.
Yang bisa dipetik :
- Semua orang punya ketakutan yang beda2.
- Bagi orang2 yang telah menyadari sepenuhnya kalau Allah itu dekat, maka dia tidak akan merasakan ketakutan semacan itu.
- Yang namanya setan gentayangan, kutukan dari setan, setan bisa mbunuh manusia (atau malah bunuh2an), atau yang aneh2 itu tidak ada. Yang ada hanya kuasa Allah.
- Moviebox = rawan ikhtilat. Harus saling menjaga!
- Moviebox = rawan telat sholat. Hati-hati!
- Moviebox = kedinginan. Makanya jangan duduk di pojokan bawah AC. Brrr….!!!
- Moviebox = musholanya nyempil, ruangannya 2x1,5 meter. Barengan sama tempat buat masang sumber listrik pula. Bahkan karyawannya sendiri sempat nginget2 dulu waktu ditanya letak mushola dimana. Ckckckck…
- Moviebox = nggak mau sering2
Selesai dengan moviebox, barulah pada mau ke maskam UGM. Habis itu lanjut ke KaliMilk. Suasananya ya…ngonolah…namanya juga kafe. Oiya, ada konflik kuga sih, tp aku malas bahasnya. Habis shalat maghrib, makan, minum, ngobrol, akhirnya pamitan pulang duluan. Yang lain masih ngobrol.
Waktu perjalan pulang, sakjane aku ki baru pertama pulang jam segitu lewat jalan deket rumah yang itu, SENDIRIAN pula. Menguji nyali nek iki! Jalan berbahaya sepanjang 500meter di tengah sawah, gelap gulita, sepiiiii…. Bukan takut setan, tp takut ada brandalan yang pernah kedapetan mau nyabet motor orang di jalan itu. Lha nek beneran dicegat gimana? Aku diam2 nyusun strategi sejak dari perempatan Tugu Jogja.
Rencana :
1. Kalau masih sempet mbalik, mbalik aja ke perkampungan terdekat.
2. Nek ada yg nyegat, tancap gas aja. Ngeeennnggg…!!! Tabrak sisan.
3. Nek nggak ada kesempatan buat nabrak, ya ambil jarak, brenti. Ambil HP. Pura2 telpon POLISI. Knp nggak nelpon beneraran aja? Ya, apalagi kalau bukan karena pulsaku abis. Dialognya gini : “OK pak POLISI, bapak udah di depan SD Pengkol. Ya udah tinggal ke selatan 100meter. Udah dikepung dan siap ditangkapkan? OK Pak, sekarang mereka ada di depan saya. Terima kasih, saya tunggu sebentar lagi.” Nah, kalau mereka brandalan dengan mental tempe pasti udah kalang kabut. Semoga deh…
4. Pasang wajah nyeremin. Ekting nyeremin. Ketawa liar. Mata melotot. Biar dikira hantu. Ini rencana paling nggak masuk akal. Tapi toh ini cuma rencana.
Dalam hati aku berdoa. Semoga aku tak perlu mengeluarkan salah satu dari rencana itu. Dan Alhamdulillah memang diberi keselamatan. Sampai di rumah aku malah kepikiran, rencana tadi mungkin akibat kekhawatiran terlalu berlebihan yang akhirnya menimbulkan dampak tidak jelas. Hahaha…
Saat nulis ini aku jd ingat perasaan yg tadi. Senang, tertawa, bercanda, jengkel, kecewa. Sempat pula ingat potongan dialog dengan salah seorang teman waktu gelombolan kami sedang campur baur.
“Kita jd ngrasa serba salah. Nek kita ikut masuk ke lingkaran, kita ikutan ikhtilat. Tapi nek malah misah dan jalan di belakang gini, malah ngetoi banget nek kita beda.”
Aku setuju. Tapi apa dayaku. Aku belum sampai ke taraf yang bisa menegur orang lain dalam keadaan seperti itu. Bukankah nasihat sebaiknya disampaikan tidak di depan orang banyak dan sebaiknya di saat yang tepat?
Aku juga sempat teringat kalimat ini :
“Aku ki kadang masih bimbang. Kadang pengen masuk ke lingkaran, berbaur sama yang laen. Pengen ikut seneng-seneng. Tapi di saat yang sama kita itu termasuk ‘orang2 yang udah ngerti kalau itu salah’.“
Dan afwan jiddan bagi seorang teman yang berbicara begitu padaku dan waktu itu hanya kujawab :
“Iya, po?”
Afwan jiddan, bukannya meragukan kata anti. Tapi setiap aku bilang “Iya po?” itu artinya aku sedang berpikir, mencerna kalimat, mecoba memangsanya di kepala, dan mencocokannya dengan keadaanku. Kalau masalah orientasi masih sebatas keduniaan, ya kita masih sama2 belajar. Hehe…
Jadilah kesimpulan agenda hari ini adalah senang-senang. Ini kata ibu juga lho… hemn… semakin ingat pengalaman tadi aku jadi semakin sadar, ini semua orientasinya ke dunia. Trus kapan mau berubah? Yakin kah masih diberi kesempatan? Kita kan tahu apa yang akan terjadi besuk.
Dalam hati nyatanya aku merasa tidak tenang justru karena ketenangan yang kurasakan. Coba pahami. Kata temanku masalah hati memang sensitif. Hati, tidak bisa kalau tidak jujur.
Ya Rabb,.. kuadukan lemahnya dayaku, kurangnya siasatku, & kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Penyayang di antara para penyayang, Engkaulah Rabb orang-orang lemah. Engkaulah Rabbku… Aku berlindung dengan cahayaMu yang menyinari segala kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik, agar Engkau tak menurunkan murkaMu padaku… tiada daya dan kekuatan kecuali dariMu.
Senin, 20 Juni 2011
1 comments:
LOL, pas nang moviebox e -,- hooh, betul2 rawannn hahahaa
Posting Komentar